Privasi pada Era Internet oleh Ika Karlina Idris.
Diterbitkan di Republika, 10 April 2018.
Akhir Maret lalu, CEO Facebook Mark Zukerberg memasang iklan permintaan maaf di beberapa media cetak terkemuka di Inggris dan Amerika terkait skandal Cambridge Analytica. Firma analis data tersebut berhasil menambang data hingga sekira 87 juta pengguna Facebook (The New York Times, 04/04/18), merekonstruksinya kembali dalam bentuk kategori kepribadian dan menggunakannya untuk mempengaruhi opini pada pemilihan Brexit di Inggris dan pemilu presiden AS 2016 silam. Skandal ini setidaknya menunjukkan tiga karakteristik penting teknologi digital. Pertama, bahwa teknologi dapat memonitor dan melacak jejak digital kita. Kedua, adanya kemampuan mengumpulkan data dalam jumlah besar, merekonstruksi, dan menganalisanya menjadi sebuah informasi yang memiliki makna baru. Ketiga, adalah kemampuan untuk mempublikasikan informasi dan mendiseminasikannya dalam waktu cepat ke jutaan orang.
Dengan kemampuan teknologi tersebut, perlindungan data pribadi yang tercatat dan tersimpan dari aktivitas kita di internet tidak pernah sepenting hari ini. Pada masyarakat informasi, web memiliki fungsi yang sangat vital, melebihi fungsinya saat pertama kali diciptakan oleh para Ilmuan di ARPANET untuk sekadar mengirimkan pesan. Web hari ini adalah tempat transaksi ekonomi terjadi, berjejaring, berpartisipasi dalam aktivitas politik, berkegiatan dalam komunitas, hingga tempat memenuhi kebutuhan psikologis. Sebegitu pentingnya hingga terkadang kita rela mengorbankan sebagian privasi kita demi terhubung di web. Namun, apakah sebenarnya yang dimaksud dengan privasi di era internet saat ini?
Konsep klasik privasi merujuk kepada the right to be left alone—hak untuk dibiarkan sendiri dan juga hak untuk membatasi sejauh mana informasi pribadi kita dapat diakses orang lain. Akan tetapi, definisi ini sudah tidak sesuai dengan perkembangan teknologi digital. Hellen Nissenbaum, professor information science dari Cornell University, dalam bukunya Privacy in Context: Technology, Policy, and the Integrity of Social Life mengatakan bahwa definisi privasi di era Internet adalah hak atas terpenuhinya ekspektasi seseorang terhadap bagaimana informasi pribadinya diperlakukan. Definisi ini mengandung dua prinsip penting. Pertama adalah prinsip bahwa informasi pribadi yang terkumpul dari aktivitas berinternet harus dimaknai sesuai konteksnya. Seseorang yang tercatat sering mengakses informasi tentang konten pornografi di web, misalnya, tidak akan dimaknai sebagai indikator bahwa ia memiliki potensi sebagai seseorang yang ceroboh dan tidak bertanggung jawab. Karena ada kemungkinan, ia adalah mahasiswa yang sedang meneliti tentang pornografi atau menulis buku tentang bahaya pornografi.
Prinsip kedua mengacu kepada adanya kesadaran, pemahaman, dan persetujuan bagaimana data kita akan diperlakukan oleh pihak mana saja yang memilikinya: pemerintah, perusahaan telekomunikasi, platform media sosial, situs jual beli, situs berita, ataupun situs pencari. Artinya, seseorang tidak hanya sebatas tahu, namun juga paham data apa saja yang akan tercatat dan tersimpan di web. Dan yang paling penting ialah adanya persetujuan dari pemilik data atas pengelolaan dan peruntukan datanya tersebut. Saat kita membuat akun di situs jejaring sosial, registrasi sebagai pengguna e-banking, ataupun registrasi nomor telepon ke perusahaan telekomunikasi, harusnya ada form yang menyatakan kesediaan kita menyerahkan data dan jaminan bahwa data tersebut akan terlindungi. Bentuknya adalah persetujuan di awal (opt-in), bukan otomatis data dapat terakses dan pengguna harus mencari tahu sendiri bagaimana caranya keluar dari sistem pencatatan digital (opt-out).
Potensi Pelanggaran privasi di internet menurut Bernhard Debatin, professor di bidang etika media, Ohio University, dapat terjadi di dua dimensi: horizontal dan vertikal. Pelanggaran privasi di kutub horizontal terjadi karena adaya interaksi dengan sesama pengguna internet—misalnya interaksi di sistus jejaring sosial, aplikasi percakapan, ataupun fitur komentar di web berita. Salah satu contoh kasus pelanggaran privasi di dimensi horizontal ini misalnya saat seorang mahasiswi pendatang menulis status yang dianggap menghina warga kota tempat ia bersekolah di akun media sosialnya, dan disebarkan kembali oleh teman yang dapat mengakses status mahasiswi tersebut, menjadi viral dan topik pemberitaan media nasional, bahkan si mahasiswa tersebut dilaporkan ke polisi. Pelanggaran privasi di dimensi ini juga bisa dalam bentuk tagging (penandaan) akun social media Anda oleh teman, atau saat foto yang sifatnya privat dan hanya untuk dibagikan ke teman di media sosial ternyata beredar ke publik yang lebih luas. Ada anggapan bahwa data yang diunggah seorang pengguna media sosial sudah menjadi milik publik. Namun berdasarkan definisi privasi di atas, ternyata terdapat kondisi di luar ekspektasi pemilik akun: bahwa status yang ia maksudnya hanya dapat dibaca oleh teman-teman yang sudah ia pilih, ternyata dapat diakses oleh orang lain, dan dimaknai beragam. Continue reading