media sosial

Analisis Jaringan Percakapan Twitter

Social network analysis (SNA) atau yang sering dikenal dengan analisis jaringan pada dasarnya adalah metode riset. Metode ini sudah ada lama bahkan sebelum media sosial ada. Dalam ilmu komunikasi, awalnya metode ini banyak digunakan untuk menganalisis jaringan percakapan dalam komunitas dalam konteks pembangunan. Metode ini misalnya digunakan untuk menganalisis pemimpin opini dalam masyarakat jika pemerintah ingin melakukan difusi inovasi, alias menyebarkan ide-ide baru.

Kenapa metode ini kemudian banyak digunakan untuk menganalisis percakapan media sosial? Karena masalah kemudahan mengumpulkan data.

Dulu, mengumpukan data analisis jaringan komunikasi dilakukan lewat metode survei. Setiap responden ditanya siapa yang akan mereka hubungi jika mencari tahu tentang sebuah informasi. Sekarang, data percakapan relatif telah tersedia di media sosial untuk digunakan. Saya bilang relatif karena memang tergantung kebijakan masing-masing platform dalam membuka datanya.

Jika tertarik melakukan analisis jaringan percakapan di media sosial, khususnya Twitter, silakan cek video saya saat mengisi materi SNA untuk Hackathon Digital Humanities yang diadakan Asosiasi Media Siber Indonesia.

Kunci dalam memakai tools adalah: harus sering belajar. Sama seperti naik sepeda: semakin kita sering berlatih, semakin mahir kita.

Standard
media sosial, opinion

Kita Adalah Media

 

Satu dekade lalu majalah Times menobatkan kita semua (You) sebagai “Person of the Year 2006”. Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi memungkinkan kita menjadi audiens yang aktif. Internet memungkinkan kita tidak lagi hanya sekadar mengonsumsi informasi yang dipilih, dibingkai, dan disajikan oleh media massa.

Times menyebutkan bahwa internet bisa saja gagal membuat kita menjadi kerumunan yang cerdas dan bijak. Propaganda, polarisasi opini, maraknya berita palsu yang beredar, muatan pesan kebencian bernada SARA di media sosial, pelanggaran privasi, hingga dominasi informasi ala entertainment di internet membuat banyak pihak pesimis akan manfaat teknologi ini. Para akademisi dan penggiat media menyerukan urgensi literasi media, pendidik menyarankan pentingnya berpikir kritis dalam mencerna argumen di media sosial, dan pemerintah ingin ada aturan untuk mengatasi hoax. Presiden Jokowi bahkan membahas khusus mengenai fenomena berita palsu dan kebencian yang tersebar di Internet. Respon yang terbilang wajar karena sejak awal kampanye pemilihan presiden 2014 Jokowi selalu menjadi bulan-bulanan di media sosial.

Mari kita evaluasi sejenak kondisi media massa kita lima tahun ke belakang dimana sebagian besar kelompok media berafiliasi dengan partai politik. Berita yang kita lihat, dengar, dan baca adalah hasil konstruksi media massa yang berpihak pada kepentingan pemilik modal dan penguasa. Konten lain seperti hiburan setali tiga uang. Isinya adalah dominasi program hiburan yang sesuai dengan selera kelas menengah di Jakarta (Armando, 2011).

Indonesianis yang juga profesor kajian Asia Tenggara dari Australia, David Hill, saat berdiskusi di Universitas Paramadina 2012 silam, pernah bertanya: bagaimana respon masyarakat atas kepemilikan media dan newsroom yang bias?

Menurut penulis, pertanyaan itu terjawab pada dua tahun belakangan. Saat jurnalisme dibungkam oleh kepentingan pemilik modal, audiens akhirnya memilih untuk menciptakan informasi mereka sendiri sebagai bentuk penolakan atas dominasi informasi. Pakar media dari Inggris John Fiske menyebutnya dengan istilah semiotic democracy—kebebasan untuk menciptakan makna yang baru dengan dukungan teknologi yang memungkinkan penggunanya mencari, mereka ulang makna, dan menyebarkannnya. Salah satu media tempat kebebasan ini terjadi adalah website berita dan media sosial.

Perspektif psikologi memandang information bias—kondisi dimana seseorang hanya ingin mengonsumsi dan membagi informasi yang sesuai dengan pandangannya—sebagai penyebab masyarakat percaya dengan berita palsu. Algoritma Facebook memperkuatnya dengan mengurung kita dalam gelembung informasi. Sebagian masyarakat sudah mulai kritis dan sadar dengan adanya berita palsu dan kepentingan pihak yang menyebarkannya. Sebulan terakhir pada masa pemilihan presiden Amerika, edukasi mengenai berita palsu dan ajakan berpikir kritis bahkan sangat gencar. Toh berita palsu tetap tak terbendung.

Hari ini, kondisi yang sama terjadi di Jakarta dan media sosial kita. Penyebarnya bahkan dari mereka yang bergelar sarjana ataupun kelas ekonomi menengah ke atas. Ada yang perpendapat bahwa para penyebar hoax adalah orang yang belum selesai dengan pemilihan presiden.

Tapi tunggu dulu. Pemerintah juga pemain di media sosial. Kovach dan Rosenstiel (2014) mengatakan bahwa untuk pertama kalinya dalam sejarah, ancaman pemerintah terhadap jurnalisme bukanlah dalam bentuk sensor, melainkan dalam bentuk berita tandingan. Berita ini hadir di website resmi pemerintah, televisi internal, channel youtube, dan akun media sosial pemerintah. Continue reading

Standard
media sosial, opinion

Internet dan Ancaman Polarisasi Opini

Menyaksikan pemilihan presiden Amerika dari dekat membuat penulis menyadari adanya kesamaan dengan pemilu Indonesia kemarin. Fenomena pemberian dukungan terhadap para kandidat di media sosial serupa dengan apa yang Indonesia alami 2014 lalu. Opini masyarakat di media sosial terpolarisasi pada dua titik ekstrem: dukung Donald Trump atau dukung Bernie mati-matian.

Di Jakarta, meski Pilkada DKI masih tahun depan, namun “perang” status di media sosial sudah mulai marak. Para pengguna media sosial berubah menjadi agen propaganda yang saling kritik dan saling serang. Masyarakat saat ini tidak lagi membaca berita untuk mencari kebenaran sebuah informasi. Kebenaran pada dasarnya sudah ada di kepala mereka dan media hanya digunakan untuk mencari argumen pendukung. Dalam mengakses informasi, seorang bisa dengan tekun menyeleksi berita sesuai dengan pandangannya tanpa peduli benar atau salah. Bila di media main stream berbeda, ia akan beralih ke media sosial untuk mencari pembenaran. Jika masih belum ada, maka ia akan mencari di website apapun, meski pengelolanya tidak jelas dan kebenaran informasinya diragukan. Setelah menemukan berita yang disukai, mereka akan membaginya di lini masa media sosial.

Polarisasi opini sebenarnya sudah terjadi sejak dua dekade lalu saat media massa berkembang sangat pesat, namun menjadi semakin ekstrim sejak kemunculan internet. Mengapa?

Pekan lalu Gizmodo, blog yang fokus pada informasi desain dan teknologi, menulis laporan tentang bias pada sistem seleksi informasi Facebook. Laporan tersebut merujuk pada wawancara anonim mantan kurator informasi Facebook dan segera dibantah oleh CEO Facebook Mark Zuckerberg.  Laporan tersebut menyebutkan bahwa Facebook menyaring informasi dari kelompok konservatif AS sehingga berita dari kelompok liberal muncul lebih banyak. Disebutkan juga bahwa dalam peristiwa penyerangan Charlie Hebdo 2015 silam, Facebook mendorong isu tersebut agar menjadi perhatian penggunanya dan trending topic.

Sejak internet dan media sosial menjadi bagian dalam keseharian kita, website berita bukan lagi satu-satunya tempat masyarakat mendapatkan informasi. Bagi diaspora, misalnya, situs jejaring sosial seperti Facebook adalah media utama untuk mencari informasi mengenai negara asal. Facebook yang kini juga berfungsi sebagai news aggregator lebih disukai ketimbang website berita karena dua alasan. Pertama karena aplikasinya ada di ponsel dan tampilannya lebih akrab. Kedua karena di Facebook informasi lebih beragam—mulai dari status teman, berita terkini, hiburan, hingga opini dan sikap teman kita mengenai sebuah isu. Dengan demikian, informasi di Facebook memiliki multi konteks dan multi interpretasi.

Perlu kita ketahui bahwa Google dan Facebook, sebagai mesin pencari dan situs jejaring sosial paling populer, memiliki sistem rekomendasi yang menyesuaikan dengan perilaku berinternet kita. Pada 2011, Eli Pariser, seorang penggiat kampanye online, dalam bukunya The Filter Bubble: What the Internet Is Hiding from You, menuliskan bahwa Google dan Facebook melakukan personalisasi informasi dalam sistem rekomendasi mereka. Setiap pencarian informasi di Google akan tercatat, setiap interaksi dan perubahan profil di Facebook akan tercatat. Nantinya, catatan inilah yang digunakan dalam merekomendasikan sebuah informasi. Pariser pernah menguji dengan cara meminta teman-temannya memasukkan kata yang sama di Google dan ternyata hasil yang diberikan mesin pencari tersebut berbeda ke setiap orang. Dengan kata lain, Google dan Facebook menciptakan gelembung informasi yang berbeda pada tiap penggunanya.

Bagi saya hal itu mengkhawatirkan. Mengapa? Bayangkan bahwa ternyata informasi yang kita dapatkan adalah informasi yang itu-itu saja, atau informasi yang sebenarnya meneguhkan pendapat dan sikap yang sudah ada selama ini. Lalu kapan kita bisa belajar bahwa ada informasi yang berbeda dan pendapat yang lain?

Mari kita evaluasi sejenak timeline Facebook kita masing-masing. Pernahkah Anda merasa bahwa dari sekian ratus teman di Facebook, status yang pertama kali kita lihat di urutan timeline adalah dari teman yang itu-itu saja? Teman yang lebih sering berinteraksi baik dalam bentuk saling memberi komentar ataupun likes. Tahukah bahwa iklan yang muncul di timeline Facebook sudah disesuaikan dengan profil Anda?

 

Polarisasi Opini di Internet

Keberadaan internet sebagai media penyedia informasi telah mendorong polarisasi opini publik—sebuah kondisi dimana opini terkonsentrasi pada dua titik ekstrim: pro atau kontra. Pada level tertentu, polarisasi opini dapat mendorong sikap ekstremisme dan intoleran terhadap perbedaan. Informasi yang terpersonalisasi atau gelembung informasi adalah salah satu penyebab polarisasi opini. Penelitian Lelkes, Sood, dan Iyengar (2015) di American Journal of Political Science terhadap pemilih di Amerika menujukkan bahwa akses informasi di internet telah mendorong polarisasi opini. Hal ini disebabkan oleh tingkat terpaan informasi yang bias lebih besar, atau dengan kata lain seseorang cenderung diterpa oleh informasi yang sesuai dengan pendapat dan sikapnya. Alih-alih diterpa oleh informasi yang berbeda, seseorang lebih banyak mendapatkan informasi yang meneguhkan pendapat yang sudah dimiliki sejak awal. Continue reading

Standard
media sosial, opinion

Propaganda 2.0

Democracy (and, indeed, all society) is run by an unseen engineer.”–Anatole France

 

Era demokrasi Indonesia saat ini tak lepas dari peran media sosial seperti Facebook, Twitter, Youtube, Path dan Instagram. Beragam isu menjadi terdengar dan akhirnya menjadi agenda penting di masyarakat karena disuarakan melalui media sosial dan didengungkan oleh media massa. Beberapa kali pula isu nasional di Indonesia menjadi tren dunia karena massifnya sebuah isu dipantulkan dari satu akun ke akun yang lain. Bahkan Presiden Jokowi juga berutang besar kepada netizen atas jasa memopulerkan dirinya di media sosial.

Kita tentu masih ingat betapa pada hari-hari pemilihan presiden yang lalu, menulis sebuah status dukungan di media sosial untuk salah satu calon bukanlah hal yang mudah. Bahkan hingga hari ini sebuah status Facebook atau tweet yang berbau politik masih cukup sensitif dan dapat memancing berbagai bantahan dan komentar. Inilah era demokrasi dimana para propagandis lebih mudah menyebarkan kebencian. Media sosial membuka ruang yang lebih luas untuk menyetir isu dan opini di masyarakat, serta memantau perkembangannya dengan lebih terukur.

Pada dasarnya, propagandis ada di hampir seluruh masyarakat, bekerja dalam diam. Tujuan mereka adalah mendapatkan simpati dan dukungan masyarakat, sekaligus membuat pihak lawan mereka dibenci. Propagandis hadir tidak hanya di masa pemilihan presiden atau pemilihan kepala daerah, mereka juga bekerja pada isu-isu sosial di masa damai. Tanpa disadari kita sering terjebak untuk sukarela membantu mereka, mulai dari sekadar memberi jempol di status Facebook hingga ikut menyebarkan pesan propaganda kepada jejaring sosial kita.

Beberapa waktu lalu misalnya, foto Presiden Jokowi di Raja Ampat, Papua, dituding palsu oleh salah seorang pengguna media sosial. Teman dan pengikut akun tersebut pun ramai-ramai memantulkan tudingan dan pesan yang sama, tanpa lebih dulu mencari tahu kebenarannya. Menjelang pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017, saat ini di media sosial mulai bermunculan rekayasa foto ataupun informasi yang tidak jelas kebenaran dan sumbernya. Tanpa disadari, banyak pengguna media sosial yang dengan suka rela terseret ke dalam pusaran arus propaganda 2.0.

Teknik propaganda

Pada masa Perang Dunia II, pemerintah AS mendirikan the Institute of Propaganda Analysis yang bertugas mendidik warganya mengenai propaganda. Institut tersebut mengeluarkan tujuh teknik yang biasa digunakan dalam propaganda. Hampir 80 tahun berlalu sejak institut tersebut akhirnya dibubarkan, namun ketujuh tekniknya masih kita jumpai hingga saat ini. Meski dengan keberadaan media baru, teknik tersebut sudah termodifikasi.

Propaganda adalah strategi dan teknik persuasi untuk mengubah opini, perilaku, dan sikap masyarakat dengan menggunakan kebohongan, tipu muslihat, dan kebencian. Sejarah membuktikan bahwa propaganda adalah senjata yang paling ampuh untuk memenangkan perang (Harold Lasswell, 1972) dan opini publik di era modern. Ketujuh teknik propaganda adalah: name calling, glittering generality, transfer device, testimonials, plain folks, card stacking, dan bandwagon.

Name calling adalah teknik memberikan julukan buruk untuk sebuah ide, organisasi ataupun seseorang yang menjadi pihak lawan, untuk membuat publik kemudian membencinya. Glittering generality adalah teknik penggunaan kata-kata indah dan mengesankan, untuk menunjukkan kehebatan dan kebajikan sebuah pihak, organisasi, ataupun ide, untuk mendapatkan dukungan dan penerimaan publik. Transfer device digunakan saat menghubungkan aksi propagandis dengan tujuan mulia yang lebih besar, misalnya untuk demokrasi, nasionalisme, dan kesejahteraan bangsa. Teknik testimonial menggunakan suara orang penting dan terkenal untuk memberikan kesan dan dukungan kepada ide propagandis. Plain folks adalah teknik dimana propagandis membenarkan ide dan aksinya atas dasar untuk kepentingan orang banyak. Teknik card stacking menggunakan sebagian dari fakta yang ada kemudian dipelintir agar meyakinkan masyarakat. Dan terakhir, bandwagon adalah teknik agar masyarakat mendukung ide dan bergabung dalam sebuah aksi semata-mata karena orang lain juga turut dalam aksi tersebut.

Propaganda di media sosial

Pada media sosial hari ini, ketujuh teknik tersebut dapat dijumpai mulai dari kampanye politik, kampanye pemasaran dan brand hingga kampanye sosial dan kesehatan. Teknik name calling dan glittering generality tidak banyak berubah. Cukup mengejutkan bahkan karena julukan buruk untuk pihak lawan yang banyak digunakan di era Perang Dunia II  seperti ‘Yahudi’, ‘Komunis’ , ‘Liberal’, ‘Ateis’, dan ‘Radikal’ ternyata masih muncul dalam propaganda di media baru. Teknik glittering generality muncul dengan penggunaan tujuan mulia demi ‘Demokrasi’, Patriotisme’, ‘Kesehatan’, dan ‘Cinta’. Teknik transfer device juga masih terdapat dan dipermudah dengan keberadaan media sosial seperti Facebook. Seorang propagandis, misalnya, membuat akun khusus di Facebook dan mengajak massa untuk bergabung untuk aksi tertentu di group/fanpage atau menulis pesan dan menyebarkan pesan. Propagandis biasanya menyebarkan pesan untuk meligitimasi tujuan mereka sebagai bagian dari aksi masyarakat, organisasi, atau bahkan misi kebangsaan. Continue reading

Standard
media sosial

Dominasi Narasi Entertainment di Media Sosial

Media sosial Instagram belakangan ini mendapatkan perhatian masyarakat karena menyajikan drama dan konflik pribadi dari beberapa orang terkenal. Akun milik Egi John, Marshanda, Karin Novilda, Mario Teguh, dan Lambe Turah adalah beberapa akun yang sedang ramai diperbincangkan. Narasi entertainment sangat kuat terasa di percakapan media sosial, jauh mendominasi dibandingkan isu lain misalnya seputar kebijakan pemerintah atau penegakan hukum, yang nyata-nyata lebih berdampak pada kehidupan masyarakat.

Unggahan foto-foto dan informasi di Instagram menarik perhatian pengguna media sosial karena setidaknya empat hal. Pertama, adanya akses langsung dari pemilik akun kepada para pengguna Instagram. Beberapa akun akan menyeleksi lebih dulu sebelum mengizinkan pengguna Instagram mengakses informasi dari akun mereka. Namun saat sudah mendapatkan akses, pengguna Instragram dapat mengonsumsi semua informasi yang ada di sana kapan saja, baik itu unggahan yang terbaru hingga unggahan tahun lalu.

Kedua, ragam informasi yang ada sebagian besar berada di ranah pribadi, informasi yang tidak kita temui saat mengonsumsi media massa. Mulai dari foto kamar tidur, dapur, hingga suasana belakang panggung di sebuah acara televisi dapat kita lihat. Aktivitas bekerja, berdagang, berolahraga hingga luapan berbagai emosi si pemilik akun bisa kita jumpai di sana. Followers sebuah akun akan mendapatkan informasi saat si pemilik akun sedang senang, sedih, marah, ataupun berkonflik dengan orang lain.

Ketiga, informasi di Instagram menyuguhkan kita drama kehidupan yang seakan tak ada habisnya. Akun @awkarin milik Karin Novilda, seorang remaja di Jakarta dikenal publik karena mengunggah foto-foto kisah asamara dan gaya hidupnya. Akun tersebut sempat menjadi viral dan mendapatkan ekspos media massa pada puncak drama saat Karin mengunggah video curhatannya di kala sedih akibat putus cinta. Akun @mregijohn menjadi perbincangan pengguna Instagram karena menulis tentang mantan kekasihnya, artis Marsahanda, dan menandai beberapa pejabat negara di tulisannya. Akun motivator @marioteguh menyajikan kita drama keluarga.

Lalu ada juga akun gosip @lambe_turah yang menampilkan foto-foto dan informasi gosip selebritas yang jauh lebih menarik dibandingkan tayangan infotainment sekalipun. Betapa tidak, akun ini berisi unggahan foto-foto selebritas yang diambil tanpa ijin, saat mereka sedang lengah. Dikirim oleh orang-orang yang melihat si artis di tempat umum, dan mengirimkannya ke @lambe_turah untuk dipublikasikan. Foto-foto itu akan diberikan caption yang tidak lengkap dan bernada memancing rasa ingin tahu orang yang membacanya. Umumnya, unggahan foto-foto di akun gosip ini sudah diberikan makna baru, di luar konteks saat informasi tersebut pertama kali dipublikasikan. Belakangan, akun @lambe_turah akhirnya dilaporkan ke Polisi oleh istri Martio teguh atas tuduhan pencemaran nama baik.

Keempat, drama dan kisah hidup para selebritas di Instagram memuaskan kebutuhan kita akan informasi yang sifatnya menghibur. Kisah mereka dapat dinikmati di tengah kemacetan lalu lintas, saat makan siang dengan teman-teman kantor, atau saat bersantai di malam hari. Kedegarannya memang hanya sebatas hiburan, namun kisah para selebritas itu membuat kita penasaran dan terus ingin tahu kelanjutannya. Kebutuhan akan entertainment yang dikonsumsi di Instagram, rasanya sama seperti saat kita butuh untuk melanjutkan novel yang sedang dibaca atau menonton serial televisi kesayangan.

Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Melalui media sosial, siapa saja dapat menikmati dan menjadi bagian dari drama kehidupan para pesohor dunia, mulai dari keluarga Kardashian, Taylor Swift, Calvin Harris, Justin Bieber, Selena Gomez, hingga Sofia Richie. Unggahan foto-foto dan kisah hidup di Instagram ini pula yang akhirnya dapat membuat seseorang memiliki banyak pengikut dan mendapatkan label “selebgram” (selebritas instagram)—seseorang yang menjadi terkenal bukan karena pencapaian atau prestasi, namun karena unggahannya menyajikan drama, hiburan, perjalanan wisata, atau gaya hidup di Instagram. Jika Mario Teguh, Egi John, Taylor Swift, dan Justin Bieber awalnya popular melalui media massa, Karin Novilda dan Sofia Riche awalnya lebih dikenal di media sosial Instagram sebagai “selebram”. Selebritas dan “selebgram” sama-sama menyadari bahwa drama dan konflik yang mereka sajikan di Instagram dapat menarik perhatian publik media sosial, membuat orang mengikuti akun mereka, dan pada akhirnya dapat mendongkrak popularitas mereka.

Selain keempat faktor di atas, interaktivitas, sebagai salah satu karakter utama media sosial, juga mendorong dominannya narasi entertainment. Di Instagram, misalnya, para pengguna tak hanya mendapatkan akses langsung untuk berinteraksi dengan si pemilik akun, namun juga dengan sesama followers yang lain. Kita bisa terlibat langsung dalam percakapan di menu komentar, dimana pada akhirnya mereka yang berkomentar membela si pemilik akun akan dianggap sebagai “fans” dan mereka yang berkomentar negatif dicap sebagai “haters”.

Continue reading

Standard