Uncategorized

Hiring a Research Assistant on misinformation and digital propaganda

I am looking for a research assistant to conduct research on misinformation, digital propaganda, and digital platform policy. This is a part-time position (20 hours per week), and you can work from anywhere. The project will run for six months (December 2022-May 2023).

Key Responsibilities:

  1. Conduct a literature review on misinformation, digital propaganda, and digital platform policy.
  2. Collect data—interview or observation—related to misinformation and digital propaganda.
  3. Check and work on academic writing style and standards provided by the book publisher.

Education qualification:

Hold a master’s degree in social science with extensive literature review skills and experience publishing academic journals.

Send your application before 25/11/2022 to ika.idris@monash.edu.

Standard
research paper

Elemen-elemen Propaganda dalam Humas Kontemporer

Di awal keberadannya, humas kental sekali dengan propaganda. Maklumlah, para humas di awal kemunculannya, adalah veteran Amerika dari perang dunia I yang lalu ternyata menemukan bahwa “skill” persuasi selama perang ternyata bisa digunakan untuk persuasi di hal lain. Misalnya: jualan tentang ide demokrasi.

Salah satu bapak modern kehumasan, Edward Bernays, bahkan menempatkan propaganda sebagi pondasi dari strateginya membentuk opini publik. Bernays ini orang penting di balik perubahan perilaku sosial orang Amerika seperti “kebiasaan makan pisang”, mandi pakai sabun mandi, ataupun membuat perempuan merokok sebagai bentuk ekspresi kebebasan (emansipasi).

Hari ini, ilmuan humas bahkan seakan ingin jauh-jauh dari propaganda dengan mengembangkan ide seperti “dialog” (Kent & Taylor) atau “komunikasi mutual dua arah” (Grunig & Hunt). 

Pertanyaannya adalah: benarkah humas kini telah jauh meninggalkan propaganda dan beralih menjadi lebih dialogis?

Saya mengambil beberapa riset terkini kehumasan dan menganalisa apa saja elemen-elemen propaganda yang masih ada dalam konsep maupun teori kehumasan. Saya menemukan setidaknya ada tiga elemen propaganda dalam humas kontemporer. Pertama, yakni unsur manipulasi. Kedua, adalah perencanaan yang strategis untuk memengaruhi publik/audiens. Ketiga, adalah komunikasi satu arah.

Pada akhirnya, saya sepakat dengan apa yang disampaikan oleh Kevin Moloney, ilmuan humas dari Bournemouth University yang bilang kalau: PR, eventually, is a weak propaganda.

Untuk baca paper saya tentang elemen-elemen propaganda dalam humas kontemporer, bisa download di sini.

Standard
media sosial

Analisis Jaringan Percakapan Twitter

Social network analysis (SNA) atau yang sering dikenal dengan analisis jaringan pada dasarnya adalah metode riset. Metode ini sudah ada lama bahkan sebelum media sosial ada. Dalam ilmu komunikasi, awalnya metode ini banyak digunakan untuk menganalisis jaringan percakapan dalam komunitas dalam konteks pembangunan. Metode ini misalnya digunakan untuk menganalisis pemimpin opini dalam masyarakat jika pemerintah ingin melakukan difusi inovasi, alias menyebarkan ide-ide baru.

Kenapa metode ini kemudian banyak digunakan untuk menganalisis percakapan media sosial? Karena masalah kemudahan mengumpulkan data.

Dulu, mengumpukan data analisis jaringan komunikasi dilakukan lewat metode survei. Setiap responden ditanya siapa yang akan mereka hubungi jika mencari tahu tentang sebuah informasi. Sekarang, data percakapan relatif telah tersedia di media sosial untuk digunakan. Saya bilang relatif karena memang tergantung kebijakan masing-masing platform dalam membuka datanya.

Jika tertarik melakukan analisis jaringan percakapan di media sosial, khususnya Twitter, silakan cek video saya saat mengisi materi SNA untuk Hackathon Digital Humanities yang diadakan Asosiasi Media Siber Indonesia.

Kunci dalam memakai tools adalah: harus sering belajar. Sama seperti naik sepeda: semakin kita sering berlatih, semakin mahir kita.

Standard
Uncategorized

Mengenali Jaringan Penyebar Hoax 

Ika Karlina Idris, Ph.D

Dosen Paramadina Graduate School of Communication

Kompas, 26 Februari 2019

Hari-hari menjelang Pemilu Presiden April mendatang, hoax dan rumor marak beredar di media sosial bahkan menjadi sorotan utama hampir semua media massa. Sebenarnya, Indonesia bukanlah negara pertama yang demokrasinya terkontaminasi oleh hoax. Pemilu Amerika Serikat (AS) pada 2016 dan Brasil pada 2018 telah lebih dulu mengalami permasalah ini.

Akan tetapi, apakah yang membedakan antara jaringan penyebar hoax di Indonesia dengan negara lain seperti di AS? Dan seperti apa tantangannya bagi pengguna media sosial dalam mengenali hoax?

Saya ingin berbagi pengalaman saat menganalisis jaringan percakapan media sosial di Indonesia untuk keperluan penelitian disertasi di Ohio University. Sedikit gambaran, disertasi saya menganalisis intensitas dialog yang dimediasi oleh situs jejaring sosial. Untuk itu, sebelumnya saya harus membersihkan data saya dari jaringan akun palsu, social media buzzers, dan social media influencer. Mereka ini, meski belum tentu menyebarkan hoax, tapi interaksinya di media sosial masuk dalam kategori interaksi semu karena informasi yang mereka sebarkan sifatnya “pesanan” (promoted information).  Dengan kata lain, mereka digunakan oleh pihak yang ingin mendapatkan perhatian publik dengan cara memanipulasi penyebaran informasi di media sosial, agar menjangkau lebih banyak audiens dan menjadi viral.

Berdasarkan pengalaman saya sebagai peneliti, hal pertama yang membedakan jaringan penyebaran informasi pesanan, baik hoax ataupun bukan, di media sosial Indonesia dengan negara lain adalah di pengguna akunnya. Di negara lain, hoax dan misinformasi umumnya digerakkan oleh social media bots atau program komputer. Penelitian Barberá (2014) di enam negara (AS, Inggris, Spanyol, Belanda, Italia, dan Jerman) terhadap ribuan akun politisi, partai politik, dan jurnalis yang meliput politik menunjukkan bahwa proporsi followers (pengikut) yang tergolong bots terbilang sangat tinggi.

Di Indonesia, akun-akun media sosial penyebar hoax umumnya dioperasikan oleh manusia. Di negara maju, seperti AS, Inggris, dan Jerman, upah minimum jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan upah minimum di Indonesia. Di negara tersebut, membayar manusia untuk menggerakkan percakapan di media sosial tentunya membutuhkan biaya yang lebih besar. Oleh karena itu, bots lebih disukai dibanding manusia. Kalaupun menggunakan tenaga manusia, biasanya disubkontrakkan ke akun-akun yang dibuat di luar negara tersebut.

Tantangan dalam mengenali jaringan penyebar hoax oleh social media bots sedikit lebih mudah dibandingkan mengenali jaringan akun media sosial yang dikelola manusia. Pada metode analisis jaringan, jaringan percakapan terbentuk karena adanya kesamaan pola interaksi antar pengguna media sosial. Interaksi tersebut terjadi misalnya saat menulis komentar, menyebutkan nama akun lain (mention), atapun membagi sebuah pesan di media sosial (retweet/share). Para pengguna aku yang memiliki pola interaksi yang sama kemudian akan membentuk cluster percakapan.

Pada cluster jaringan percakapan yang digerakkan oleh bots, akan ada satu akun yang posisinya sentral dan akun-akun lain akan terhubung hanya ke akun tersebut tapi tidak terhubungan ke sesama mereka. Bentuk jaringan percakapan paling umum yang ditemukan adalah star-shape atau jaringan yang bentuknya seperti bintang, dimana ada satu akun sentral yang pesannya diamplifikasi oleh akun-akun dalam cluster jaringan tersebut (Ratkiewics, Conover, Meiss, Gonçalves, Flammini, dan Menczer, 2011). Kalau kita bayangkan di percakapan tatap muka, dalam cluster ini ada satu orang yang berteriak di tengah kerumuman, lalu orang-orang di sekelingnya akan ikut meneriakkan hal yang sama. Dengan demikian, teriakan akan menggaung lebih keras.

Pada jaringan percakapan yang digerakkan oleh manusia, interaksinya lebih beragam, dan tidak melulu hanya meneruskan atau menggaungkan sebuah pesan. Interaksi yang terbentuk juga tidak hanya terkait satu isu. Dampaknya, bentuk jaringan percakapan akan lebih beragam sehingga lebih susah untuk menilai apakah jaringan tersebut masuk kategori percakapan yang dimanipulasi atau bukan. Jaringan penyebaran hoax yang digerakkan oleh manusia akan lebih menguntungkan karena potensinya untuk dihentikan (suspend) oleh platform media sosial juga lebih kecil.

Buzzer Politik

Hal kedua yang membedakan penyebar informasi pesanan di Indonesia adalah social media buzzer yang bermain di strategi kampanye politik. Di AS, misalnya, buzzer umumnya ditemui di strategi kampanye pemasaran untuk mempromosikan sebuah produk atau brand. Di Indonesia, social media buzzer bermain di hampir semua isu karena memang tujuannya menyebarkan informasi, membentuk dan memengaruhi opini publik. Bahkan, kampanye pemasaran sosial, yang tujuannya untuk mengedukasi dan mengubah perilaku masyarakat, juga ada yang memanfaatkan social media buzzer demi mendapatkan perhatian pengguna media sosial.

Hal ketiga yang berbeda dari jaringan penyebar informasi pesanan di media sosial Indonesia adalah beragamnya jumlah cluster dan pihak yang mengoordinir mereka. Dalam penelitian saya misalnya, terdapat cluster-cluster yang hanya terhubung oleh beberapa pengguna, namun tetap menyokong isu yang sama. Hal ini menjunjukkan bahwa sebuah topik atau isu bisa digerakkan oleh banyak kelompok yang akun-akun penggunanya sebagian besar tidak saling kenal.

Jika hanya mengandalkan visualisasi jaringan percakapan, sekilas akan nampak bahwa sebuah isu menarik perhatian beragam audiens karena ada banyak cluster yang terbentuk. Akan tetapi, perangkat lunak analisis jaringan tertentu akan membantu menjukkan bahwa meski ada banyak kelompok terbentuk, namun pola interaksi mereka sama. Dengan kata lain, kelompok-kelompok ini digerakkan oleh pihak yang sama.

Beragamnya kelompok penyebar hoax juga berakibat pada semakin besarnya potensi seseorang terterpa hoax. Anda bisa saja terhindar dari hoax yang disebarkan oleh satu jaringan pertemanan, namun belum tentu terbebas dari terpaan hoax di jaringan pertemanan yang lain.

Lalu bagaimana hal ini berdampak pada pengguna media sosial yang mayoritas awam dan rentan terhadap terpaan hoax?

Continue reading

Standard
Uncategorized

Debat Pertama Pilpres: Jokowi-Amin Cenderung Dibicarakan Positif, Prabowo-Sandi Mendapat Banyak Sentimen Negatif

Ika Idris dan Nala Edwin

Pada hari pelaksanaan debat pilpres putaran pertama, pengguna media sosial Twitter ternyata lebih banyak membincangkan mengenai pasangan Prabowo-Sandi (52,78%) ketimbangan pasangan Jokowi-Amin (47,21%). Hasil tersebut didapatkan setelah menganalisis sebanyak 68.263 tweet yang dikumpulkan dengan menggunakan text and social network analyzer Netlytic pada Kamis, 17 Januari 2019 sejak pukul 07.10 hingga 22.40 WIB. Setelah diseleksi, dari 60 ribuan tweet tersebut, kata yang spesifik berkaitan dengan kedua pasang Capres-Cawapres terkumpul sebanyak 160.641 kata.

Lebih lanjut, analisis ini ingin melihat seperti apa sentimen pengguna Twitter, terkait debat capres-cawapres tadi malam. Untuk itu, unit analisis yang diambil adalah ‘kata’ dimana populasi kata yang yang terkumpul dibagi ke dalam dua kategori utama yakni 1. Jokowi (termasuk semua tweet yang menyebut kata Jokowi, Maaruf, Amin dan kombinasinya) dan 2. Prabowo (termasuk semua tweet yang menyebut kata Prabowo, Sandi, dan kombinasinya). Adapun sentimen yang dinilai terbagi tiga, yakni 1. positif (jika dengan lugas menyatakan dukungan misanya #2019pilihjokowi atau #17aprilpilihprabowo), 2. negatif (jika dengan lugas menyatakan kritik atau ejekan seperti #prabowotakutdebat atau #raportmerahhamjokowi), dan 3. netral (jika kata hanya menyebut nama kandidat tanpa kombinasi kata lain, misalnya ‘jokowi’, ‘prabowo’, atau ‘sandi’).

Hasil analisis sentimen menunjukkan bahwa percakapan terkait kedua kandidat didominasi oleh sentimen netral 82.56% atau sebanyak 132.633 kata. Sentimen netral ini didominasi oleh penyebutan kata nama kandidat yang tidak disertai dengan kombinasi kata lain. Pada kategori ini, pasangan nomor dua Prabowo-Sandi lebih banyak disebut, yakni sebanyak 55,06% atau 73.040 kata. Sementara penyebutan pasangan nomor urut satu Jokowi-Amin dalam kategori ini berjumlah 44,93% atau 59.593 kata.

screenshot 2019-01-18 05.08.57

Continue reading

Standard
Uncategorized

Debat Pilpres Putaran Pertama: Prabowo-Sandi Mendominasi Percakapan di Twitter

Ika Idris dan Nala Edwin

Debat publik pasangan Capres-Cawapres yang digelar semalam tak hanya ramai di televisi, namun juga ramai diperbincangkan di media sosial Twitter. Rupanya, kandidat Capres nomor 02 Prabowo-Sandi lebih banyak disebut dalam percakapan di Twitter. Hasil ini didapatkan setelah mengumpulkan data percakapan sebanyak 68.263 tweet pada Kamis, 17 Januari 2019 sejak pukul 07.10 hingga 22.40 WIB. Dalam kurun waktu itu, puluhan ribu tweet tersebut terdiri dari populasi sebanyak 1,34 juta jumlah kata.

 

Hasil analisis menggunakan text and social network analyzer Netlytic menunjukkan bahwa kata ‘prabowo’ lebih banyak disebut daripada kata ‘jokowi’. Kata ‘prabowo’ terdapat dalam 25.941 tweet dan disebut sebanyak 31.407 kali. Sementara kata ‘jokowi’, meski lebih banyak disebut dalam postingan, yakni sebanyak 27.363 tweet, namun jumlah penyebutan katanya lebih sedikit, yakni 30.699 kali.

screenshot 2019-01-18 05.18.14

Continue reading

Standard
Uncategorized

Antara Agnezmo dan Alumni UI, Mana yang Efektif Meningkatkan Popularitas Jokowi?

Ika Idris dan Nala Edwin

Kandidat presiden Jokowi memiliki dua kesempatan besar untuk meningkatkan popularitasnya pekan lalu, yakni saat bertemu dengan artis Agnes Monica dan deklarasi dukungan Alumni UI. Pertanyaannya adalah: strategi manakah yang efektif meningkatkan popularitis Jokowi?

Hasil analisis sentimen dari dua persitiwa ini menunjukkan bahwa sentimen positif masih lebih banyak didapatkan dari deklarasi dukungan Alumni UI ketimbang kunjungan @agnezmo ke istana negara.

Sebagaimana yang dikatakan sendiri oleh Agnes, dia bertemu dengan Jokowi bukan dalam rangka memberi dukungan politik. Hal tersebut juga nampak pada kata-kata yang umumnya hanya masuk dalam kategori netral karena sebatas menyebutkan nama Agnes, tanpa embel-embel lain yang secara lugas menujukkan pilihan si artis papan atas tersebut. Kalaupun ada, hanya satu, yakni tagar #agnezmopilihjokowi, namun jumlahnya terbilang kecil (hanya 5 tweet). Continue reading

Standard
Uncategorized

Menjelang Debat Capres-Cawapres Putaran Pertama, Sentimen di Twitter Masih Dominan Netral

Ika Idris dan Nala Edwin

Pekan menjelang debat capres-cawapres pertama, sentimen pengguna twitter masih didominasi oleh sentimen netral mengenai kedua pasangan calon.

Dalam menghitung sentimen selama tiga hari terakhir, populasi kata yang dikumpulkan sebanyak 485,069 kata. Dari jumlah tersebut, ternyata 81,52% sentimen masuk dalam kategori netral, sebanyak 16,99% positif, dan sisanya 1,48% negatif.

Sentimen negatif di Twitter paling banyak ditujukan kepada pasangan calon nomor 02 Prabowo-sandi, dimana sebesar 97,31% kata dalam kategori negatif ditujukan kepada mereka. Adapun sentimen positif paling banyak ditujukan kepada pasangan calon nomor 01 Jokowi-Amin.

Dari populasi kata yang kami kumpulkan, kata ‘Jokowi’ lebih banyak disebutkan sendiri ketimbang dipasangkan dengan calon wakilnya Maaruf Amin. Hal yang berbeda terjadi pada pasangan calon nomor 02 dimana penyebutan kata ‘Prabowo’ lebih banyak ditemani dengan kata yang mengandung nama wakilnya Sandiaga.

Adapun lima besar tagar dengan sentimen positif yang digunakan pendukung Jokowi-Amin adalah #01jokowilagi, #2019tetapjokowi, #2019jokowipresidenri, #jokowinyatakerjanya, dan #2019pilihjokowi. Sementara pendukung Prabowo-Sandiaga menggunakan lima besar tagar sebagai berikut: #2019prabowopresidenri, #prabowobicaradarihati, #2019prabowosandi, #2019prabowopresiden, dan #17aprilprabowopresiden Continue reading

Standard
Uncategorized

Analisis Popularitas Capres di Twitter: Peta Percakapan Menjelang Debat Capres Putaran Pertama

Ika Idris dan Nala Edwin

Debat pertama pilpres akan berlangsung malam ini, kedua pasangan calon mulai mencari dukungan publik untuk menghadapi debat tersebut. Kubu Jokowi-Amin mendapatkan dukungan dari Alumni UI pada Sabtu pekan lalu (12/01/2019) di Gelora Bung Karno, kemudian ada juga artis internasional Agnes Monica yang menyambangi istana negara sehari sebelumnya. Lalu bagaimana kedua peristiwa ini mempengaruhi percakapan di media sosial Twitter?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, dilakukan pengumpulan data menggunakan text and social network analyzer ‘Netlytic’ sejak Kamis (10/01/19) hingga Sabtu (12/01/19), di Twitter dengan menggunakan kata kunci Jokowi, Prabowo, @Prabowo, dan @Jokowi. Sebanyak 263,984 tweet terkumpul hanya dalam waktu tiga hari. Dari data yang terkumpul, analisis ini ingin memotret seperti apa dinamika percakapan dalam ketiga hari tersebut.

Kamis (10/01):

screenshot-2019-01-14-00.50.09.png

Sebagaimana umumnya jaringan percakapan pada isu politik, jaringan percakapan ini pun terpolarisasi antara kubu pendukung capres nomor 1 dan nomor 2. Pada hari Kamis, terdapat 270 cluster percakapan yang terbentuk, dimana cluster terbesar didominasi oleh pendukung kedua kubu. Cluster keempat terbesar terbentuk dari interaksi pengguna Twitter yang aktif menyebutkan akun @detik jika ada isu menarik yang ingin mereka sampaikan. Selain itu, salah satu berita detik.com yang juga akfif dibagikan adalah tentang hasil survei elektabilitas pasangan calon presiden dan wakil presiden Jokowi-Amin yang unggul sebesar 20% dari pasangan Prabowo-Amin.

Adapun top Twitter influencer di hari ini adalah @fadlizon, @ferinand_haean, @budimanjatmiko, @dahnilanzar, akun buzzer @p3nj3l4j4h, @fahrihamzah, dan @gerindra. Topik pembicaraan yang hangat pada Kamis lalu masih didominasi dukungan terhadap kedua pasangan kadindat dengan tagar seperti #2019PrabowoPresiden, #jokowikerjanyata, dan juga percakapan seputar kekhawatiran mengenai hoax yang beredar.

Jumat (11/10)

screenshot 2019-01-13 22.26.19

Pada Jumat, saat ada event Agnes berkunjung ke Istana Presiden, interaksi percakapan di Twitter naik menjadi 98,343 atau naik sekitar 4,000an tweet. Di hari ini, akun @agnezmo menjadi salah satu influencer percakapan terbesar, meski pengaruhnya dalam jaringan percakapan masih di bawah akun @fadlizon. Agnes, di hari ini, menjadi satu-satunya influencer yang tidak berasal dari ranah politik

Cluster Agnes Monica pada jaringan percakapan kubu @jokowi ditandai dengan warna kuning. Meski peristiwa ini menjadi salah satu perhatian media massa, namun percakapan yang terjadi ternyata hanya melibatkan 5,5% pengguna Twitter dari data yang kami kumpulkan. Terdapat 1,275 akun yang terlibat di cluster percakapan Agnes dengan rata-rata tweet sebanyak 1.63.

screenshot 2019-01-14 01.22.17

Continue reading

Standard
opinion

Privasi pada Era Internet

Privasi pada Era Internet oleh Ika Karlina Idris.

Diterbitkan di Republika, 10 April 2018.

Akhir Maret lalu, CEO Facebook Mark Zukerberg memasang iklan permintaan maaf di beberapa media cetak terkemuka di Inggris dan Amerika terkait skandal Cambridge Analytica. Firma analis data tersebut berhasil menambang data hingga sekira 87 juta pengguna Facebook (The New York Times, 04/04/18), merekonstruksinya kembali dalam bentuk kategori kepribadian dan menggunakannya untuk mempengaruhi opini pada pemilihan Brexit di Inggris dan pemilu presiden AS 2016 silam. Skandal ini setidaknya menunjukkan tiga karakteristik penting teknologi digital. Pertama, bahwa teknologi dapat memonitor dan melacak jejak digital kita. Kedua, adanya kemampuan mengumpulkan data dalam jumlah besar, merekonstruksi, dan menganalisanya menjadi sebuah informasi yang memiliki makna baru. Ketiga, adalah kemampuan untuk mempublikasikan informasi dan mendiseminasikannya dalam waktu cepat ke jutaan orang.

Dengan kemampuan teknologi tersebut, perlindungan data pribadi yang tercatat dan tersimpan dari aktivitas kita di internet tidak pernah sepenting hari ini. Pada masyarakat informasi, web memiliki fungsi yang sangat vital, melebihi fungsinya saat pertama kali diciptakan oleh para Ilmuan di ARPANET untuk sekadar mengirimkan pesan. Web hari ini adalah tempat transaksi ekonomi terjadi, berjejaring, berpartisipasi dalam aktivitas politik, berkegiatan dalam komunitas, hingga tempat memenuhi kebutuhan psikologis. Sebegitu pentingnya hingga terkadang kita rela mengorbankan sebagian privasi kita demi terhubung di web. Namun, apakah sebenarnya yang dimaksud dengan privasi di era internet saat ini?

Konsep klasik privasi merujuk kepada the right to be left alone—hak untuk dibiarkan sendiri dan juga hak untuk membatasi sejauh mana informasi pribadi kita dapat diakses orang lain. Akan tetapi, definisi ini sudah tidak sesuai dengan perkembangan teknologi digital. Hellen Nissenbaum, professor information science dari Cornell University, dalam bukunya Privacy in Context: Technology, Policy, and the Integrity of Social Life mengatakan bahwa definisi privasi di era Internet adalah hak atas terpenuhinya ekspektasi seseorang terhadap bagaimana informasi pribadinya diperlakukan. Definisi ini mengandung dua prinsip penting. Pertama adalah prinsip bahwa informasi pribadi yang terkumpul dari aktivitas berinternet harus dimaknai sesuai konteksnya. Seseorang yang tercatat sering mengakses informasi tentang konten pornografi di web, misalnya, tidak akan dimaknai sebagai indikator bahwa ia memiliki potensi sebagai seseorang yang ceroboh dan tidak bertanggung jawab. Karena ada kemungkinan, ia adalah mahasiswa yang sedang meneliti tentang pornografi atau menulis buku tentang bahaya pornografi.

Prinsip kedua mengacu kepada adanya kesadaran, pemahaman, dan persetujuan bagaimana data kita akan diperlakukan oleh pihak mana saja yang memilikinya: pemerintah, perusahaan telekomunikasi, platform media sosial, situs jual beli, situs berita, ataupun situs pencari. Artinya, seseorang tidak hanya sebatas tahu, namun juga paham data apa saja yang akan tercatat dan tersimpan di web. Dan yang paling penting ialah adanya persetujuan dari pemilik data atas pengelolaan dan peruntukan datanya tersebut. Saat kita membuat akun di situs jejaring sosial, registrasi sebagai pengguna e-banking, ataupun registrasi nomor telepon ke perusahaan telekomunikasi, harusnya ada form yang menyatakan kesediaan kita menyerahkan data dan jaminan bahwa data tersebut akan terlindungi. Bentuknya adalah persetujuan di awal (opt-in), bukan otomatis data dapat terakses dan pengguna harus mencari tahu sendiri bagaimana caranya keluar dari sistem pencatatan digital (opt-out).

Potensi Pelanggaran privasi di internet menurut Bernhard Debatin, professor di bidang etika media, Ohio University, dapat terjadi di dua dimensi: horizontal dan vertikal. Pelanggaran privasi di kutub horizontal terjadi karena adaya interaksi dengan sesama pengguna internet—misalnya interaksi di sistus jejaring sosial, aplikasi percakapan, ataupun fitur komentar di web berita. Salah satu contoh kasus pelanggaran privasi di dimensi horizontal ini misalnya saat seorang mahasiswi pendatang menulis status yang dianggap menghina warga kota tempat ia bersekolah di akun media sosialnya, dan disebarkan kembali oleh teman yang dapat mengakses status mahasiswi tersebut, menjadi viral dan topik pemberitaan media nasional, bahkan si mahasiswa tersebut dilaporkan ke polisi. Pelanggaran privasi di dimensi ini juga bisa dalam bentuk tagging (penandaan) akun social media Anda oleh teman, atau saat foto yang sifatnya privat dan hanya untuk dibagikan ke teman di media sosial ternyata beredar ke publik yang lebih luas. Ada anggapan bahwa data yang diunggah seorang pengguna media sosial sudah menjadi milik publik. Namun berdasarkan definisi privasi di atas, ternyata terdapat kondisi di luar ekspektasi pemilik akun: bahwa status yang ia maksudnya hanya dapat dibaca oleh teman-teman yang sudah ia pilih, ternyata dapat diakses oleh orang lain, dan dimaknai beragam. Continue reading

Standard