Uncategorized

Mengenali Jaringan Penyebar Hoax 

Ika Karlina Idris, Ph.D

Dosen Paramadina Graduate School of Communication

Kompas, 26 Februari 2019

Hari-hari menjelang Pemilu Presiden April mendatang, hoax dan rumor marak beredar di media sosial bahkan menjadi sorotan utama hampir semua media massa. Sebenarnya, Indonesia bukanlah negara pertama yang demokrasinya terkontaminasi oleh hoax. Pemilu Amerika Serikat (AS) pada 2016 dan Brasil pada 2018 telah lebih dulu mengalami permasalah ini.

Akan tetapi, apakah yang membedakan antara jaringan penyebar hoax di Indonesia dengan negara lain seperti di AS? Dan seperti apa tantangannya bagi pengguna media sosial dalam mengenali hoax?

Saya ingin berbagi pengalaman saat menganalisis jaringan percakapan media sosial di Indonesia untuk keperluan penelitian disertasi di Ohio University. Sedikit gambaran, disertasi saya menganalisis intensitas dialog yang dimediasi oleh situs jejaring sosial. Untuk itu, sebelumnya saya harus membersihkan data saya dari jaringan akun palsu, social media buzzers, dan social media influencer. Mereka ini, meski belum tentu menyebarkan hoax, tapi interaksinya di media sosial masuk dalam kategori interaksi semu karena informasi yang mereka sebarkan sifatnya “pesanan” (promoted information).  Dengan kata lain, mereka digunakan oleh pihak yang ingin mendapatkan perhatian publik dengan cara memanipulasi penyebaran informasi di media sosial, agar menjangkau lebih banyak audiens dan menjadi viral.

Berdasarkan pengalaman saya sebagai peneliti, hal pertama yang membedakan jaringan penyebaran informasi pesanan, baik hoax ataupun bukan, di media sosial Indonesia dengan negara lain adalah di pengguna akunnya. Di negara lain, hoax dan misinformasi umumnya digerakkan oleh social media bots atau program komputer. Penelitian Barberá (2014) di enam negara (AS, Inggris, Spanyol, Belanda, Italia, dan Jerman) terhadap ribuan akun politisi, partai politik, dan jurnalis yang meliput politik menunjukkan bahwa proporsi followers (pengikut) yang tergolong bots terbilang sangat tinggi.

Di Indonesia, akun-akun media sosial penyebar hoax umumnya dioperasikan oleh manusia. Di negara maju, seperti AS, Inggris, dan Jerman, upah minimum jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan upah minimum di Indonesia. Di negara tersebut, membayar manusia untuk menggerakkan percakapan di media sosial tentunya membutuhkan biaya yang lebih besar. Oleh karena itu, bots lebih disukai dibanding manusia. Kalaupun menggunakan tenaga manusia, biasanya disubkontrakkan ke akun-akun yang dibuat di luar negara tersebut.

Tantangan dalam mengenali jaringan penyebar hoax oleh social media bots sedikit lebih mudah dibandingkan mengenali jaringan akun media sosial yang dikelola manusia. Pada metode analisis jaringan, jaringan percakapan terbentuk karena adanya kesamaan pola interaksi antar pengguna media sosial. Interaksi tersebut terjadi misalnya saat menulis komentar, menyebutkan nama akun lain (mention), atapun membagi sebuah pesan di media sosial (retweet/share). Para pengguna aku yang memiliki pola interaksi yang sama kemudian akan membentuk cluster percakapan.

Pada cluster jaringan percakapan yang digerakkan oleh bots, akan ada satu akun yang posisinya sentral dan akun-akun lain akan terhubung hanya ke akun tersebut tapi tidak terhubungan ke sesama mereka. Bentuk jaringan percakapan paling umum yang ditemukan adalah star-shape atau jaringan yang bentuknya seperti bintang, dimana ada satu akun sentral yang pesannya diamplifikasi oleh akun-akun dalam cluster jaringan tersebut (Ratkiewics, Conover, Meiss, Gonçalves, Flammini, dan Menczer, 2011). Kalau kita bayangkan di percakapan tatap muka, dalam cluster ini ada satu orang yang berteriak di tengah kerumuman, lalu orang-orang di sekelingnya akan ikut meneriakkan hal yang sama. Dengan demikian, teriakan akan menggaung lebih keras.

Pada jaringan percakapan yang digerakkan oleh manusia, interaksinya lebih beragam, dan tidak melulu hanya meneruskan atau menggaungkan sebuah pesan. Interaksi yang terbentuk juga tidak hanya terkait satu isu. Dampaknya, bentuk jaringan percakapan akan lebih beragam sehingga lebih susah untuk menilai apakah jaringan tersebut masuk kategori percakapan yang dimanipulasi atau bukan. Jaringan penyebaran hoax yang digerakkan oleh manusia akan lebih menguntungkan karena potensinya untuk dihentikan (suspend) oleh platform media sosial juga lebih kecil.

Buzzer Politik

Hal kedua yang membedakan penyebar informasi pesanan di Indonesia adalah social media buzzer yang bermain di strategi kampanye politik. Di AS, misalnya, buzzer umumnya ditemui di strategi kampanye pemasaran untuk mempromosikan sebuah produk atau brand. Di Indonesia, social media buzzer bermain di hampir semua isu karena memang tujuannya menyebarkan informasi, membentuk dan memengaruhi opini publik. Bahkan, kampanye pemasaran sosial, yang tujuannya untuk mengedukasi dan mengubah perilaku masyarakat, juga ada yang memanfaatkan social media buzzer demi mendapatkan perhatian pengguna media sosial.

Hal ketiga yang berbeda dari jaringan penyebar informasi pesanan di media sosial Indonesia adalah beragamnya jumlah cluster dan pihak yang mengoordinir mereka. Dalam penelitian saya misalnya, terdapat cluster-cluster yang hanya terhubung oleh beberapa pengguna, namun tetap menyokong isu yang sama. Hal ini menjunjukkan bahwa sebuah topik atau isu bisa digerakkan oleh banyak kelompok yang akun-akun penggunanya sebagian besar tidak saling kenal.

Jika hanya mengandalkan visualisasi jaringan percakapan, sekilas akan nampak bahwa sebuah isu menarik perhatian beragam audiens karena ada banyak cluster yang terbentuk. Akan tetapi, perangkat lunak analisis jaringan tertentu akan membantu menjukkan bahwa meski ada banyak kelompok terbentuk, namun pola interaksi mereka sama. Dengan kata lain, kelompok-kelompok ini digerakkan oleh pihak yang sama.

Beragamnya kelompok penyebar hoax juga berakibat pada semakin besarnya potensi seseorang terterpa hoax. Anda bisa saja terhindar dari hoax yang disebarkan oleh satu jaringan pertemanan, namun belum tentu terbebas dari terpaan hoax di jaringan pertemanan yang lain.

Lalu bagaimana hal ini berdampak pada pengguna media sosial yang mayoritas awam dan rentan terhadap terpaan hoax?

Kebutuhan untuk menarik perhatian netizen di tengah banjirnya informasi membuat bots, akun palsu, dan social media buzzer akan tetap menjadi pilihan untuk strategi penyebaran dan penggaungan informasi. Penggunaan bots kini membutuhkan biaya yang lebih murah dan semakin hari mereka dapat meniru perilaku manusia dalam bermedia sosial. Dengan demikian, keberadaan mereka semakin susah untuk dikenali oleh platform dan pengguna awam media sosial. Pada pemilihan presiden AS 2016 lalu, penelitian Shao, Ciampaglia, Varol, Flammini, & Menczer (2017) menunjukkan bahwa pengguna media sosial tidak bisa membedakan antara informasi yang disebar oleh manusia dan yang disebar oleh bots.

Hanya dengan melihat ke profil akun pengguna saja tidak akan memberikan cukup informasi apakah sebuah akun itu adalah bots, akun palsu, atau akun asli. Untuk membuktikan penggunaan akun-akun ini dalam menyebarkan misinformasi, ilmuan biasanya menggunakan big data dan perangkat lunak analisis jaringan dalam mengalisis interaksi dan informasi yang didapatkan di media sosial.

Pada akhirnya, percakapan media sosial yang digerakkan oleh bots, akun palsu dan social media buzzer adalah hasil manipulasi dan kebohongan. Hari ini mereka telah mencemari diskusi di ruang publik baru yang difasilitasi oleh media sosial. Celakanya, percakapan dan diskusi publik yang dimanipulasi ini seringkali digunakan untuk klaim politik atau mendorong gerakan sosial politik di masyarakat.

Meski sulit untuk terhindar dari terpaan hoax dan misinformasi, marilah membiasakan diri untuk mengecek kebenaran informasi yang kita dapat di media sosial. Jangan kita biarkan hoax dan misinformasi tersebut meluas, apalagi jika sampai disalahgunakan oleh pihak tertentu untuk mendukung klaim politik mereka ataupun dimanfaatkan untuk merebut kekuasaan politik.

 

Standard

Leave a comment