media sosial, opinion

Kita Adalah Media

 

Satu dekade lalu majalah Times menobatkan kita semua (You) sebagai “Person of the Year 2006”. Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi memungkinkan kita menjadi audiens yang aktif. Internet memungkinkan kita tidak lagi hanya sekadar mengonsumsi informasi yang dipilih, dibingkai, dan disajikan oleh media massa.

Times menyebutkan bahwa internet bisa saja gagal membuat kita menjadi kerumunan yang cerdas dan bijak. Propaganda, polarisasi opini, maraknya berita palsu yang beredar, muatan pesan kebencian bernada SARA di media sosial, pelanggaran privasi, hingga dominasi informasi ala entertainment di internet membuat banyak pihak pesimis akan manfaat teknologi ini. Para akademisi dan penggiat media menyerukan urgensi literasi media, pendidik menyarankan pentingnya berpikir kritis dalam mencerna argumen di media sosial, dan pemerintah ingin ada aturan untuk mengatasi hoax. Presiden Jokowi bahkan membahas khusus mengenai fenomena berita palsu dan kebencian yang tersebar di Internet. Respon yang terbilang wajar karena sejak awal kampanye pemilihan presiden 2014 Jokowi selalu menjadi bulan-bulanan di media sosial.

Mari kita evaluasi sejenak kondisi media massa kita lima tahun ke belakang dimana sebagian besar kelompok media berafiliasi dengan partai politik. Berita yang kita lihat, dengar, dan baca adalah hasil konstruksi media massa yang berpihak pada kepentingan pemilik modal dan penguasa. Konten lain seperti hiburan setali tiga uang. Isinya adalah dominasi program hiburan yang sesuai dengan selera kelas menengah di Jakarta (Armando, 2011).

Indonesianis yang juga profesor kajian Asia Tenggara dari Australia, David Hill, saat berdiskusi di Universitas Paramadina 2012 silam, pernah bertanya: bagaimana respon masyarakat atas kepemilikan media dan newsroom yang bias?

Menurut penulis, pertanyaan itu terjawab pada dua tahun belakangan. Saat jurnalisme dibungkam oleh kepentingan pemilik modal, audiens akhirnya memilih untuk menciptakan informasi mereka sendiri sebagai bentuk penolakan atas dominasi informasi. Pakar media dari Inggris John Fiske menyebutnya dengan istilah semiotic democracy—kebebasan untuk menciptakan makna yang baru dengan dukungan teknologi yang memungkinkan penggunanya mencari, mereka ulang makna, dan menyebarkannnya. Salah satu media tempat kebebasan ini terjadi adalah website berita dan media sosial.

Perspektif psikologi memandang information bias—kondisi dimana seseorang hanya ingin mengonsumsi dan membagi informasi yang sesuai dengan pandangannya—sebagai penyebab masyarakat percaya dengan berita palsu. Algoritma Facebook memperkuatnya dengan mengurung kita dalam gelembung informasi. Sebagian masyarakat sudah mulai kritis dan sadar dengan adanya berita palsu dan kepentingan pihak yang menyebarkannya. Sebulan terakhir pada masa pemilihan presiden Amerika, edukasi mengenai berita palsu dan ajakan berpikir kritis bahkan sangat gencar. Toh berita palsu tetap tak terbendung.

Hari ini, kondisi yang sama terjadi di Jakarta dan media sosial kita. Penyebarnya bahkan dari mereka yang bergelar sarjana ataupun kelas ekonomi menengah ke atas. Ada yang perpendapat bahwa para penyebar hoax adalah orang yang belum selesai dengan pemilihan presiden.

Tapi tunggu dulu. Pemerintah juga pemain di media sosial. Kovach dan Rosenstiel (2014) mengatakan bahwa untuk pertama kalinya dalam sejarah, ancaman pemerintah terhadap jurnalisme bukanlah dalam bentuk sensor, melainkan dalam bentuk berita tandingan. Berita ini hadir di website resmi pemerintah, televisi internal, channel youtube, dan akun media sosial pemerintah.

Tidaklah mengherankan jika membaca dan membagi berita (meski itu berita palsu) menjadi keasikan tersendiri bagi sebagian orang. Mengonsumsi dan menyebarkan berita palsu merupakan sebuah bentuk penolakan untuk didikte oleh penguasa. Semiotic democracy terjadi dengan menciptakan meme, mencuplik kutipan, dan memberikannnya makna baru. Media sosial adalah taman bermain kita.

Menjadi Khalayak yang aktif

Meski telah 10 tahun berlalu namun penobatan kita semua (You) sebagai person of the year tetap relevan. Karena kitalah agen yang menentukan wajah media sosial. Teknologi, bagaimanapun juga hanyalah alat. Sebagai agen, mari memankain peran aktif kita, baik sendiri-sendiri maupun berjamaah.

Pertama, mari kita sadari bahwa selalu ada industri dan pihak yang ingin mengambil keuntungan dari audiens. SebeIum adanya internet, industri televisi memanfaatkan jumlah penonton (rating dan sharing) untuk dijual ke pemasang iklan. Pengunggah video di Youtube mendapatkan uang sesuai dengan jumlah viewers mereka, pemilik Instagram mendapatkan bayaran dari produk yang mereka promosikan, pemilik website mendapatkan iklan dari Google aDSense, dan ada orang-orang yang dibayar jika mereka berhasil menyebarkan berita palsu.

Saat kita mengeklik dan membagikan berita itu, kita menjadi bagian dari klik tersebut dan memberi keuntungan bagi para penyebar berita palsu. Anda, pada akhirnya, telah dimanipulasi untuk kepentingan kapital mereka.

Mari kita sadari bahwa berita palsu bisa terdengar karena ada orang-orang yang membagikannya. Berita palsu yang tidak disebarkan sebenarnya hanyalah gerutuan di blog atau website yang tidak jelas. Akan tetapi, saat gerutuan itu disebarkan dia bisa menjadi viral, jadi fitnah, atau jadi bahan penipuan. Menjadi aktif di media sosial berarti menyadari bahwa kekuasaan sepenuhnya ada di tangan kita. Kita adalah pencipta makna, pemain aktif, bukan buruh gratisan yang bisa dimanfaatkan oleh pemilik website untuk mendapatkan uang.

Kedua, mari aktif saling mengedukasi dengan cara mengajak teman yang telah membagi berita palsu untuk berpikir kritis. Sebagai masyarakat yang tumbuh dalam budaya kolektivisme, banyak dari kita yang sungkan menegur dan akhirnya mendiamkan. Namun, mendiamkan teman yang sharing berita palsu sama berbahayanya dengan mengeklik berita itu. Mengapa? Karena saat kita sudah terkoneksi satu sama lain, pola bermedia orang lain akan berdampak pada kita juga.

Ketiga, karena pada dasarnya kita semua adalah media, kita perlu memiliki kompas etika pribadi dalam bermedia. Kita perlu memahami nilai yang ingin kita pegang dan mana yang kita dahulukan. Apakah kebebasan berekspresi, misalnya, lebih penting meski akan melukai pihak lain?

Peran Jurnalisme

Dalam dunia jurnalisme, berita palsu sebenarnya bukanlah hal yang baru. Sensasionalisme sudah dari dulu mewarnai jurnalisme di era koran kuning, dimana koran berisi berita sensasional agar laku dijual. Namun, masyarakat akhirnya sadar bahwa mereka butuh informasi yang berkualitas dan dapat dipercaya. Maka dari itu muncullah jurnalisme yang objektif, dimana informasi berdasarkan pada fakta peristiwa dan fakta ucapan.

Keberadaan internet dianggap sebagai penyebab kebangkitan jurnalisme sensasional. Jurnalisme yang mementingkan hits atau page views, dan melupakan klarifikasi. Saat ini jumlah website berita dan pekerja media makin banyak dan media massa bukan lagi satu-satunya sumber informasi. Banyak yang berpendapat jurnalisme tidak lagi diperlukan. Namun sebenarnya, inilah masa dimana jurnalis membedakan diri mereka dengan propagandis dan penyebar berita palsu. Kovach dan Rosentiel (2014) mengatakan bahwa saat ini jurnalisme diangkat ke tempat yang lebih tinggi, bukan lagi sekadar pengumpul berita, melainkan verifikator informasi. Audiens yang aktif bisa menjadi mata dan telinga bagi jurnalis. Namun pada akhirnya, disiplin verifikasilah yang membedakan jurnalisme dengan para penyebar hoax dan propagandis.

 

Ika Karlina Idris

Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina, Mahasiswa program Doktor Ohio University

Standard

One thought on “Kita Adalah Media

Leave a comment