media sosial

Dominasi Narasi Entertainment di Media Sosial

Media sosial Instagram belakangan ini mendapatkan perhatian masyarakat karena menyajikan drama dan konflik pribadi dari beberapa orang terkenal. Akun milik Egi John, Marshanda, Karin Novilda, Mario Teguh, dan Lambe Turah adalah beberapa akun yang sedang ramai diperbincangkan. Narasi entertainment sangat kuat terasa di percakapan media sosial, jauh mendominasi dibandingkan isu lain misalnya seputar kebijakan pemerintah atau penegakan hukum, yang nyata-nyata lebih berdampak pada kehidupan masyarakat.

Unggahan foto-foto dan informasi di Instagram menarik perhatian pengguna media sosial karena setidaknya empat hal. Pertama, adanya akses langsung dari pemilik akun kepada para pengguna Instagram. Beberapa akun akan menyeleksi lebih dulu sebelum mengizinkan pengguna Instagram mengakses informasi dari akun mereka. Namun saat sudah mendapatkan akses, pengguna Instragram dapat mengonsumsi semua informasi yang ada di sana kapan saja, baik itu unggahan yang terbaru hingga unggahan tahun lalu.

Kedua, ragam informasi yang ada sebagian besar berada di ranah pribadi, informasi yang tidak kita temui saat mengonsumsi media massa. Mulai dari foto kamar tidur, dapur, hingga suasana belakang panggung di sebuah acara televisi dapat kita lihat. Aktivitas bekerja, berdagang, berolahraga hingga luapan berbagai emosi si pemilik akun bisa kita jumpai di sana. Followers sebuah akun akan mendapatkan informasi saat si pemilik akun sedang senang, sedih, marah, ataupun berkonflik dengan orang lain.

Ketiga, informasi di Instagram menyuguhkan kita drama kehidupan yang seakan tak ada habisnya. Akun @awkarin milik Karin Novilda, seorang remaja di Jakarta dikenal publik karena mengunggah foto-foto kisah asamara dan gaya hidupnya. Akun tersebut sempat menjadi viral dan mendapatkan ekspos media massa pada puncak drama saat Karin mengunggah video curhatannya di kala sedih akibat putus cinta. Akun @mregijohn menjadi perbincangan pengguna Instagram karena menulis tentang mantan kekasihnya, artis Marsahanda, dan menandai beberapa pejabat negara di tulisannya. Akun motivator @marioteguh menyajikan kita drama keluarga.

Lalu ada juga akun gosip @lambe_turah yang menampilkan foto-foto dan informasi gosip selebritas yang jauh lebih menarik dibandingkan tayangan infotainment sekalipun. Betapa tidak, akun ini berisi unggahan foto-foto selebritas yang diambil tanpa ijin, saat mereka sedang lengah. Dikirim oleh orang-orang yang melihat si artis di tempat umum, dan mengirimkannya ke @lambe_turah untuk dipublikasikan. Foto-foto itu akan diberikan caption yang tidak lengkap dan bernada memancing rasa ingin tahu orang yang membacanya. Umumnya, unggahan foto-foto di akun gosip ini sudah diberikan makna baru, di luar konteks saat informasi tersebut pertama kali dipublikasikan. Belakangan, akun @lambe_turah akhirnya dilaporkan ke Polisi oleh istri Martio teguh atas tuduhan pencemaran nama baik.

Keempat, drama dan kisah hidup para selebritas di Instagram memuaskan kebutuhan kita akan informasi yang sifatnya menghibur. Kisah mereka dapat dinikmati di tengah kemacetan lalu lintas, saat makan siang dengan teman-teman kantor, atau saat bersantai di malam hari. Kedegarannya memang hanya sebatas hiburan, namun kisah para selebritas itu membuat kita penasaran dan terus ingin tahu kelanjutannya. Kebutuhan akan entertainment yang dikonsumsi di Instagram, rasanya sama seperti saat kita butuh untuk melanjutkan novel yang sedang dibaca atau menonton serial televisi kesayangan.

Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Melalui media sosial, siapa saja dapat menikmati dan menjadi bagian dari drama kehidupan para pesohor dunia, mulai dari keluarga Kardashian, Taylor Swift, Calvin Harris, Justin Bieber, Selena Gomez, hingga Sofia Richie. Unggahan foto-foto dan kisah hidup di Instagram ini pula yang akhirnya dapat membuat seseorang memiliki banyak pengikut dan mendapatkan label “selebgram” (selebritas instagram)—seseorang yang menjadi terkenal bukan karena pencapaian atau prestasi, namun karena unggahannya menyajikan drama, hiburan, perjalanan wisata, atau gaya hidup di Instagram. Jika Mario Teguh, Egi John, Taylor Swift, dan Justin Bieber awalnya popular melalui media massa, Karin Novilda dan Sofia Riche awalnya lebih dikenal di media sosial Instagram sebagai “selebram”. Selebritas dan “selebgram” sama-sama menyadari bahwa drama dan konflik yang mereka sajikan di Instagram dapat menarik perhatian publik media sosial, membuat orang mengikuti akun mereka, dan pada akhirnya dapat mendongkrak popularitas mereka.

Selain keempat faktor di atas, interaktivitas, sebagai salah satu karakter utama media sosial, juga mendorong dominannya narasi entertainment. Di Instagram, misalnya, para pengguna tak hanya mendapatkan akses langsung untuk berinteraksi dengan si pemilik akun, namun juga dengan sesama followers yang lain. Kita bisa terlibat langsung dalam percakapan di menu komentar, dimana pada akhirnya mereka yang berkomentar membela si pemilik akun akan dianggap sebagai “fans” dan mereka yang berkomentar negatif dicap sebagai “haters”.

Interaktivitas yang ditawarkan oleh media sosial tidak dimiliki oleh media massa. Seperti yang kita ketahui, media massa seperti televisi dan koran memiliki mekanisme gate keeping, yang akan menyaring komentar mana saja yang layak dipublikasikan dan mana yang tidak. Dengan kata lain, gate keeper di media massa, (idealnya) akan menyaring informasi mana yang akan memperkaya diskursus sebuah isu dan mana yang sampah. Di media sosial semacam Instagram dan Youtube, semua informasi sampah bisa kita lihat. Informasi ini—mulai dalam bentuk promosi produk yang tidak pada tempatnya hingga komentar yang tidak berhubungan dengan uanggahan si pemilik akun—pada dasarnya tidak berguna dan tidak membawa manfaat. Yang ada malah berpotensi memicu konflik yang lain, misalnya pertengkaran sesama followers.

Narasi Entertainment di Pilkada DKI Jakarta

Narasi entertainment ini terasa tak hanya di media sosial, namun juga hadir pada informasi di internet pada umumnya. Informasi yang menjadi treding topic di website berita biasanya tak jauh dari kisah kehidupan selebrita. Merlyna Lim (2013), peneliti di Carleton University, Canada, yang fokus pada aspek sosial dan politik Internet di Indonesia, menyebutkan tiga prinsip budaya konsumsi masyarakat saat ini: light package, headline appetite, dan trailer version. Jika dikatkan dengan pesan di media sosial, light package berkaitan dengan isi pesan yang ringan dan mudah dicerna tanpa perlu mengerutkan dahi. Headline appetite menunjukkan karakter pesan yang padat seperti berita utama di televisi, yang hanya perlu kita perhatikan sekilas untuk tahu isinya. Dan trailer version berkaitan dengan pesan yang sudah disederhanakan dan sensasional.  Artinya, pesan yang dikemas dengan narasi ala tayangan infotainment-lah yang akan menarik perhatian publik di media sosial.

Penelitian Lim tentang gerakan masyarakat di media sosial juga menunjukkan bahwa publik cenderung untuk berpartisipasi dalam gerakan sosial jika pesannya dikemas dengan ketiga prinsip tadi. Publik juga berpotensi untuk berpartisipasi jika risiko sosial saat terlibat dalam gerakan tersebut tidak besar dan narasinya sama dengan narasi yang ada di media massa. Oleh karena itu, tidaklah megherankan jika demi menarik perhatian publik, sebuah pesan politik yang biasanya cenderung berat akhirnya dibungkus dengan kemasan entertainment.

Pada Pilkada Jakarta mendatang, tiga pasang calon gubernur dan wakil gubernur akan bertanding. Artinya, hingga Februari 2017 informasi seputar ketiga calon akan menerpa warga DKI Jakarta. Pusat kelas menengah penduduk Indonesia berada di Jakarta. Mereka memiliki akses ke teknologi komunikasi terbaru, haus akan informasi, dan penikmat entertainment. Sampai hari pemilihan nanti, media sosial akan dipenuhi dengan informasi seputar ketiga calon yang dibungkus dengan narasi entertainment.

Kampanye politik memang dekat dengan pesan yang sifatnya personal dan informal. Salah satu strategi dalam mendongkrak popularitas calon adalah dengan menyajikan drama dan sisi-sisi kehidupan pribadi mereka. Personalisasi ini cakupannya sangat luas, mulai dari menciptakan nama panggilan yang terdengar akrab, gaya berpakaian, event dan pesan yang dibuat khusus untuk setiap publik, hingga penyajian kehidupan pribadi para kandidat. Narasi dalam kampanye politik akan menarik rasa ingin tahu publik jika dikemas dalam bentuk drama, yang akhirnya akan membuat kita ingin membincangkannya, dan membahas bagaimana kelanjutannya.

Sayangnya, pesan yang informal dan personal ini juga mudah mengecoh kita dari informasi yang kita butuhkan dalam membuat pilihan yang rasional. Kandidat politik biasanya akan membungkus informasi seperti visi, misi, dan program kerja dengan bahasa yang bersayap. Selain itu, porsinya akan lebih sedikit dibanding porsi pesan yang akan menyentuh sisi emosional kita. Narasi-narasi entertainment akan hadir dan menarik kita untuk menjadi bagian dari drama kampanye para kandidat.

Paparan informasi di media sosial, yang terus-menerus dan beragam, menjadikan kita seolah-olah tahu banyak, namun sesungguhnya informasi yang banyak itu bukanlah yang kita butuhkan. Narasi entertainment dapat membuai kita dan pada akhirnya memilih kandidat karena alasan emosional. Mari menjadi pemilih yang lebih rasional dengan menaruh perhatian lebih pada visi, misi, dan rencana program kerja mereka. Jangan mudah terbuai dengan kisah-kisah pribadi yang sensasional. Dan yang paling penting, jangan mau dimanfaatkan untuk menjadi bagian dari drama politik. Kita tetap bisa menikmati informasi di media sosial tanpa harus menjadi fans atau haters.

Standard

Leave a comment